Rabu, 02 September 2009

Membaca Agam Wispi


oleh Asep Sambodja

paus Jassin! ini propaganda
politik dan puisi satu nadi
kami tidak sembunyi dan pura-pura
mau main di atas angin?

Kutipan puisi di atas memperlihatkan bahwa penyair Agam Wispi tidak memisahkan sastra dengan politik. Justru dia mengatakan bahwa politik dan puisi (sastra) itu satu nadi. Kutipan tersebut terdapat dalam puisi “Pahlawan Munafik” yang ditulis Agam Wispi pada 3 April 1964. Dari kutipan puisi tersebut juga terbaca bahwa Agam Wispi tidak peduli puisi-puisinya disebut sebagai puisi pamflet atau puisi propaganda. Yang jelas, kalau kita membaca puisi-puisi Agam Wispi memang terasa kental ideologinya yang antiimperialisme Amerika.
Tarikh penulisan puisi itu memperlihatkan bahwa puisi itu ditulis satu bulan sebelum Manifes Kebudayaan dilarang oleh Presiden Soekarno. Artinya, pada masa-masa itu polemik antara sastrawan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dengan sastrawan Manifes Kebudayaan tengah panas-panasnya. Karena itu, seruan Agam Wispi (yang mewakili sastrawan Lekra) kepada H.B. Jassin (yang mewakili kelompok Manifes Kebudayaan) muncul dalam puisi tersebut.
Membaca 40 puisi Agam Wispi yang terdapat dalam buku Gugur Merah: Sehimpunan Puisi Lekra Harian Rakjat 1950-1965 yang dihimpun Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan serta 3 puisinya dalam Social Commitment in Literature and The Arts: The Indonesian “Institute of People’s Culture” 1950-1965 karya Keith Foulcher, tampak keberpihakan Agam Wispi kepada kaum proletariat. Ini misalnya terbaca dalam puisi “Tidak Akan Pernah” (yang berisi sejarah perlawanan rakyat Kuba melawan Amerika) dan “Surabaya”—yang demikian impresif. Tidak itu saja, sikap antiimperialisme Amerika juga terbaca dengan jelas. Ini bisa dipahami bahwa puisi-puisi ini ditulis Agam Wispi saat terjadi perang dingin antara Blok Barat dan Blok Timur.
Puisi “Tidak Akan Pernah” sekali lagi memperlihatkan penguasaan yang baik Agam Wispi akan sejarah perjuangan rakyat Kuba di bawah pimpinan Fidel Castro yang menggulingkan penguasa diktator Fulgencio Batista, yang sekaligus merupakan boneka Amerika. Dalam puisi ini, Agam Wispi mendeskripsikan bagaimana seorang pejuang Kuba, Abel Santamaria yang disiksa oleh anak buah Batista dan dicungkil matanya, kemudian bola mata itu diberikan kepada kekasihnya, Hajdee Santamaria. Tragis dan sadis. Namun, di sisi lain, Agam Wispi juga menggambarkan adanya harapan dengan menulis:

dan pada suatu hari
di Pantai Babi
jengki-jengki
diusir seperti babi

Amerika mencoba melakukan invasi dengan melakukan pendaratan di Teluk Babi (dalam puisi Agam Wispi ditulis Pantai Babi) untuk menggulingkan pemerintahan Fidel Castro. Namun, invasi itu bisa digagalkan oleh Castro. Dan kegagalan itu menjadi aib Amerika di mata internasional. Kuba mencap Amerika sebagai agresor, namun Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tidak mengakuinya, karena adanya veto dari Amerika.
Puisi-puisi Agam Wispi termasuk panjang-panjang, terkadang seperti sebuah reportase sebagaimana puisi “Tak Akan Pernah” di atas. Namun, puisi “Surabaya” memperlihatkan bagaimana Agam Wispi sangat menjiwai hidup dan matinya Surabaya. “Tiap kita jumpa Surabaya, aku selalu remaja,” kata Agam Wispi. Ia menggambarkan Surabaya dengan sangat mengesankan, karena puisi tersebut merupakan refleksi panjang Agam Wispi tentang kota Surabaya. Meskipun demikian, tetap saja, dalam puisi tersebut juga muncul sikap politik seorang Agam Wispi yang antiimperialisme Amerika, yang menurutnya merupakan “racun kemerdekaan yang berbungkus kenikmatan hampa”.
Dalam buku Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI Dkk. yang disusun D.S. Moeljanto dan Taufiq Ismail, puisi Agam Wispi yang berjudul “Kisah Tukang Obat Kebudayaan” dimuat dalam buku itu bersama 11 puisi sastrawan Lekra lainnya untuk memperlihatkan “puisi-puisi yang mewakili ide dasar dan gaya penulisan kelompok penyair Lekra/PKI”. Dalam buku itu juga ditulis, “Agam Wispi menuliskan sinisme yang tajam terhadap Manifes Kebudayaan dengan menggunakan metafora tukang obat dan anjing malam.”
Sebenarnya setiap sastrawan berhak menuangkan ide apa saja dalam puisi dan bebas menggunakan gaya penulisannya sesuai dengan pilihannya. Kalau sebuah puisi karya Agam Wispi digeneralisasikan sama dan seragam seperti “Kisah Tukang Obat Kebudayaan” rasanya tidak tepat. Kalau kita baca puisi-puisi Agam Wispi yang terdapat dalam buku Gugur Merah, misalnya, maka tampak sekali keberagaman tema itu.
Sebenarnya pula, apa yang dikritik Agam Wispi dalam puisi-puisinya bukan hanya kelompok Manifes Kebudayaan saja, tapi negara bomber Amerika pun dikritiknya. Dan kritiknya nyaris terus-menerus, tidak sekali saja seperti kritik pada Manikebu. Kutipan puisi di awal tulisan ini juga sebenarnya merupakan kritik terhadap sastrawan-sastrawan Manikebu yang alergi terhadap slogan politik sebagai panglima dan paham realisme sosialis yang berpihak kepada rakyat. Agam Wispi mengatakan kepada sastrawan Manikebu, “Mau main di atas angin?”

Citayam, 2 September 2009

Tidak ada komentar: