Rabu, 11 November 2009

Hersri Setiawan dan Memoar Pulau Buru



oleh Asep Sambodja

Hersri Setiawan adalah mantan Ketua Lekra Jawa Tengah. Selain menulis cerpen dengan nama pena Setiawan H.S., ia lebih banyak menulis memoar dan menerjemahkan buku-buku penting di bidang sastra dan budaya. Buku Negara Madiun? Kesaksian Soemarsono Pelaku Perjuangan yang ditulisnya berdasarkan wawancara dengan tokoh kunci Peristiwa Madiun, Soemarsono, memperlihatkan kemampuannya untuk membaca sejarah seobjektif mungkin, meskipun hal itu sangat sulit dilakukan.

Dalam buku tersebut, Hersri Setiawan (2003) melihat peristiwa Madiun 19 September 1948 dari perspektif yang lain. Bukan dari perspektif pemerintah Soekarno-Hatta-Sukiman-Nasution, melainkan dari perspektif Soemarsono-Amir Sjarifuddin-Musso. Dari perspektif ini, jelas bahwa Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang berbasis massa di Madiun menolak diposisikan sebagai pemberontak yang hendak merebut atau menggulingkan pemerintahan Soekarno-Hatta.

Menurut pengakuan Soemarsono, pasukan Laskar Rakyat yang melucuti senjata aparat keamanan di Madiun adalah bentuk penolakan terhadap kebijakan Kabinet Hatta yang akan melakukan reorganisasi dan rasionalisasi (Re-Ra) di dalam tubuh Angkatan Perang. Selain itu, Laskar Rakyat melucuti senjata polisi dan tentara di Madiun karena tidak menginginkan peristiwan penculikan terhadap pimpinan FDR dan Laskar Rakyat sebagaimana yang terjadi pada Akhmad Yadau, perwira berhaluan kiri, di Solo pada 7 September 1948.

Setiawan (2003) menjelaskan bahwa Peristiwa Madiun tidak direncanakan untuk menggulingkan pemerintahan Hatta-Sukiman. Peristiwa itu telah terjadi semata-mata bertolak dari langkah untuk mencegah pelaksanaan Program Re-Ra, dan menghentikan ofensif reaksioner pemerintah, Nasution-Siliwangi, dan Masyumi-Murba. Sementara Soemarsono menilai Peristiwa Madiun sengaja diplot atau direkayasa pemerintahan Hatta-Sukiman untuk melenyapkan Sayap Kiri dari kancah politik.

Kecurigaan adanya persekongkolan itu terbaca dalam siding Dewan Siasat Militer pada 8 Mei 1948. Dalam sidang yang dihadiri Soedirman itu, Hatta mengatakan, “Beda dengan Amerika di Filipina, kami yakin Belanda tidak akan mampu menjamin keamanan kita. Maka jika Amerika mengingini pangkalan militer, kita akan penuhi keinginan mereka itu, tapi dengan syarat mereka harus memasok senjata pada kita.” (Setiawan, 2003). Yang menjadi pertanyaan Sayap Kiri, senjata itu untuk menembaki siapa?

Menurut Arief Budiman (dalam Setiawan, 2003), sebenarnya Bung Karno sudah mengirim utusan untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi di Madiun. Utusan yang dikirim pada waktu itu adalah Soeharto, yang kemudian menjadi Presiden RI (1966-1998). Soeharto datang dan bertemu Soemarsono, yang kemudian menjelaskan apa yang terjadi. Tampaknya Soeharto, menurut kesan Soemarsono, bisa diyakinkan bahwa apa yang terjadi bukanlah sebuah usaha pemberontakan. Katanya itulah yang akan dilaporkan Soeharto kepada pemerintah pusat. Akan tetapi, pemerintah pusat kenyataannya kemudian mengirim TNI untuk menumpas “pemberontakan” tersebut. Dari cerita ini, Soemarsono bisa jadi merasa curiga bahwa Soeharto telah memutar-balikkan fakta untuk memuaskan orang-orang yang tidak senang terhadap unsur kiri dalam Revolusi Indonesia, atau dia sendiri memang bagian dari komplotan ini (Setiawan, 2003: x-xi).

Dengan perspektif seperti itulah Hersri Setiawan (2004) menulis Memoar Pulau Buru. Dalam buku setebal 584 halaman ini dimuat kisah-kisah keseharian para tahanan politik (tapol) di Pulau Buru. Dari sekian banyak kisah yang disuguhkan Hersri dalam buku itu, ada satu kisah yang membuat trenyuh pembaca, yakni tentang Supardjo P.A., seorang tapol yang sering “ditanggap” oleh sesama rekan tapol karena Supardjo sering memelesetkan lagu-lagu biasa menjadi lagu yang bermuatan politis. Ketika ditanya kepanjangan huruf PA yang di belakang namanya, Supardjo menjawab, “Purworejo Asli alias Pikiran Abnormal”.

Kisah Supardjo ini memperlihatkan bahwa tidak semua tapol bisa tahan dengan siksaan yang mereka alami dan jalani sebagai tapol. Saya tidak tahu persis kenapa Supardjo menamakan dirinya sebagai “Supardjo Pikiran Abnormal”. Yang jelas, dia justru “ditanggap” oleh rekan-rekannya yang lain untuk menghibur mereka.
Ketika ditanya temannya, “Siapa sih nama lu, Jo?”
“Inilah aku Jenderal Supardjo! Yang sanggup membunuh tujuh jenderal dalam satu malam,” jawab Supardjo.
Tentu saja itu jawaban yang asal bunyi saja. Sebab, faktanya, pada bulan Januari 1967, perwira militer tertinggi yang terlibat dalam usaha kudeta, Brigjen Supardjo, ditemukan. Dan, pada Maret 1967, ia divonis mati (Ricklefs, 2005).

Supardjo P.A. memang akhirnya dibebaskan pada 1978. Kepergian Pardjo ini meninggalkan kesan bagi teman-temannya sesame tapol, termasuk Hersri Setiawan. Hersri yang sempat mengantar kepergian Pardjo kemudian membuat catatan kecil berbentuk puisi di beberapa lembar kertas sigaret.

Apel Bendera
kepada Supardjo P.A.

digiring kami dalam barisan
dari barak-barak menuju lapangan
kemudin datang inspektur upacara
bagaikan dewa turun dari suralaya
lalu terdengar seru
“hormat senjataaa grak!”

diiringi sembah sang komandan
selembar kain merah dan putih
merayap lesu setinggi tiang kayu bakau
lalu terdengar seru
“tegap senjataaa grak!”

maka beterbanganlah
burung-burung cocakrawa dan kelelawar
dan langit pun jadi keruh
oleh riuh hura-hura suara

pancasila!
satu: ketuhanan yang berbintang
dua: kemanusiaan yang dirante
tiga: persatuan di bawah pohon beringin
empat: kerakyatan yang dipimpin oleh kerbo
lima: keadilan sosial di kuburan....

barisan budak-budak digiring
memikul perintah masing-masing
menuju lapangan kerja
menuju gelanggang penyiksaan


Dalam memoar Hersri Setiawan (2004) dijelaskan bahwa setiap tapol di Pulau Buru tidak hanya harus hafal bunyi Pancasila seperti burung beo, bunyi setiap sila-silanya kata demi kata. Tapi, tapol juga harus hafal bagaimana masing-masing sila itu dilukiskan sebagai lambang di dada garuda yang mencengkeram semboyan Bhinneka Tunggal Ika itu. Ini tidak mudah bagi ingatan tapol yang setiap hari makan singkong bergaram dan minum air putih. Tapi, Pardjo telah mengkombinasikan bunyi setiap sila dengan gambar bagaimana sila itu dilambangkan. Lalu hafalan kata-kata masing-masing sila itu pun diubahnya sesuai dengan bagaimana lambang itu dilukiskan. Hasilnya sebagaimana yang tercakup dalam puisi di atas.

Yang menarik adalah interpretasi yang diberikan Hersri Setiawan terhadap bunyi Pancasila versi Supardjo P.A. itu. Untuk mengerti kata-kata Pancasila hafalan Pardjo P.A. di atas, sambil membaca bunyi kata-katanya kita harus melihat lima gambar lambang-lambang yang terlukis pada Garuda Pancasila, sementara itu juga berangan-angan tentang hubungan antara makna kata-kata dalam kombinasi dengan lambangnya masing-masing.

Misalnya, sila pertama yang seharusnya “Ketuhanan Yang Maha Esa” diubah menjadi “Ketuhanan yang berbintang”—yang merujuk ke kekuasaan militer. Sila kedua yang berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab” diubah menjadi “Kemanusiaan yang dirantai”—karena di mata para tapol, HAM memang ditindas, dan barangsiapa yang bersuara lain akan dirantai bahkan dipetrus. Ketiga, “Persatuan Indonesia” diubah menjadi “Persatuan di bawah pohon beringin”—karena di masa Orde Baru, parpol hanya tiga, dan partai beringin adalah partai pemerintah. Keempat, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” diubah menjadi “Kerakyatan yang dipimpin oleh kerbo”—karena para wakil rakyat di zaman Soeharto seperti kerbau yang dicucuk hidungnya oleh panglima. Kelima, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” diubah menjadi “Keadilan sosial di kuburan”—yang di mata para tapol, keadilan sudah mati.

Saya menilai, Memoar Pulau Buru menyimpan dengan sangat baik ketidakadilan yang pernah dilakukan Rezim Soeharto pada orang-orang PKI, termasuk kepada sastrawan-sastrawan Lekra. Kesaksian semacam ini memang harus diberikan agar ketidakadilan tidak terulang kembali. Memoar ini menjadi pelengkap Nyanyi Sunyi Seorang Bisu 1-2 karya Pramoedya Ananta Toer (1995, 1997).

Plesetan Pancasila yang dilakukan Pardjo Pikiran Abnormal itu mencerminkan sikap muak para tapol; karena apa yang harus mereka lafalkan setiap upacara bendera sangat bertolak-belakang dengan kenyataan yang mereka alami dan jalani sehari-hari. Demikian pula dengan interpretasi yang diberikan Hersri Setiawan atas plesetan itu, saya pikir penuh dengan rekaman pengalaman dan kenyataan yang ada di depan mata. Bagaimana mau bicara keadilan, misalnya, sementara mereka ditahan tanpa melalui proses pengadilan. Ini merupakan pelanggaran berat HAM yang diwarisi oleh Soeharto. Bagaimana mau bicara tentang kemanusiaan, sementara pemerintahan Orde Baru menginjak-injak kemanusiaan itu sendiri. Pembunuhan massal terhadap orang-orang PKI oleh militer yang didukung Amerika Serikat hingga saat ini masih dibenamkan dari buku sejarah.

Citayam, 11 November 2009

Tidak ada komentar: